perang dagang AS-China

Perang Dagang Memanas: China Balas Tarif AS dengan Bea Masuk 125%

Latar Belakang Ketegangan Dagang AS-China

Perseteruan perdagangan antara dua kekuatan ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat dan China, dikenal luas sebagai perang dagang AS-China. Ketegangan ini bukan hanya sekadar persoalan tarif, melainkan menyangkut dominasi teknologi, investasi, dan geopolitik.

Perang dagang AS-China kembali menjadi sorotan tajam setelah China resmi membalas kebijakan tarif dari Amerika Serikat dengan menaikkan bea masuk hingga 125%. Ketegangan antara dua negara ekonomi terbesar dunia ini telah berlangsung sejak 2018, berawal dari kebijakan Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang memberlakukan tarif impor tinggi terhadap berbagai produk asal China. Konflik ini memicu reaksi balasan dan terus bereskalasi hingga saat ini.

Di tahun 2025, perang dagang kembali menguat seiring langkah terbaru pemerintahan AS yang menaikkan tarif impor terhadap produk teknologi dan otomotif dari China hingga 145%.


Langkah Terbaru China: Bea Masuk 125% untuk Produk AS

Kebijakan tarif impor 2025 yang dikeluarkan China ini memicu kekhawatiran pasar global. Selain sebagai respons terhadap kebijakan AS, langkah ini juga menunjukkan peningkatan tensi geopolitik yang bisa berdampak pada ketidakstabilan perdagangan internasional.

Kebijakan balasan ini menjadi titik panas baru dalam eskalasi perang dagang AS-China yang terus berlangsung di tengah tekanan global yang belum reda. Banyak pihak menilai langkah ini tidak hanya bersifat defensif, tetapi juga merupakan strategi agresif China untuk memperkuat posisi tawarnya dalam negosiasi dagang internasional.

Sebagai balasan terhadap tarif AS, Pemerintah China resmi menetapkan bea masuk sebesar 125% untuk beberapa produk asal Amerika Serikat. Produk-produk yang terkena tarif tinggi antara lain:

  • Produk agrikultur (kedelai, jagung, gandum)
  • Kendaraan bermotor dan suku cadangnya
  • Produk elektronik dan alat komunikasi
  • Barang konsumsi rumah tangga

Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Kementerian Perdagangan China dan mulai berlaku efektif minggu ini. Langkah tersebut bertujuan untuk melindungi produsen domestik sekaligus memberi tekanan balik ke AS.


Respon Amerika Serikat terhadap Kebijakan China

Konflik perdagangan yang memanas ini turut memperkuat ketegangan politik antara kedua negara. Pihak AS menilai langkah perang dagang AS-China yang dilakukan China semakin merusak upaya stabilisasi perdagangan dunia. Beberapa senator AS bahkan mendesak pemerintah untuk memperluas sanksi ekonomi dan memperketat ekspor teknologi ke China.

Pemerintah AS menyebut tindakan China sebagai “tidak proporsional” dan mengancam untuk mengajukan protes melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di sisi lain, pelaku bisnis di AS mulai khawatir karena bea masuk tinggi bisa menekan ekspor dan merugikan produsen.

Investor di Wall Street juga menunjukkan reaksi negatif dengan penurunan indeks saham pada sektor industri dan agrikultur.


Dampaknya terhadap Ekonomi Global dan Indonesia

Salah satu isu yang menjadi perhatian utama dalam konflik ini adalah implikasi dari bea masuk China terhadap barang-barang strategis asal AS. Efek domino dari ketegangan ini dirasakan oleh banyak negara mitra dagang, termasuk Indonesia yang memiliki keterkaitan rantai pasok regional.

Konflik berkepanjangan dalam perang dagang AS-China memberikan tekanan serius terhadap sistem ekonomi multilateral. Dampaknya dirasakan oleh banyak negara berkembang yang memiliki ketergantungan pada perdagangan luar negeri dan nilai tukar stabil.

Ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia ini diprediksi akan menekan:

  • Pertumbuhan perdagangan global
  • Harga komoditas internasional
  • Stabilitas mata uang negara berkembang

Bagi Indonesia, perang dagang AS-China bisa berdampak melalui:

  • Penurunan permintaan ekspor
  • Fluktuasi nilai tukar rupiah
  • Gangguan rantai pasok bahan baku
  • Naiknya harga barang impor tertentu

Namun, di sisi lain, peluang untuk ekspansi pasar ekspor ke negara non-tradisional dan substitusi impor juga terbuka.


Tanggapan Pengamat Ekonomi dan Pelaku Pasar

Para analis juga memperingatkan bahwa perang dagang AS-China bisa menjadi pemicu tren proteksionisme baru di berbagai negara. Negara-negara berkembang bisa terdorong untuk mengambil langkah serupa dalam melindungi pasar domestik mereka.

Di Indonesia, para pelaku industri mulai menilai ulang strategi ekspor-impor mereka. Beberapa perusahaan besar memilih untuk mempercepat proses diversifikasi mitra dagang dan meningkatkan penggunaan bahan baku lokal untuk mengurangi ketergantungan pada pasar global yang bergejolak.

Pakar ekonomi dari Institute for Strategic Fiscal Studies (ISFS), Dr. Rina Kartika, menyebut bahwa perang dagang AS-China harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat fundamental ekonomi domestik. Ia menyoroti pentingnya membangun ekosistem industri hulu yang mandiri dan memperkuat konektivitas logistik nasional.

Di sisi lain, investor ritel dan institusional mulai bersikap lebih konservatif dalam menyikapi gejolak ini. Banyak dari mereka yang mengalihkan investasi ke aset yang dianggap lebih aman, seperti obligasi pemerintah dan komoditas logam mulia.

Beberapa ekonom menyebut kebijakan tarif bea masuk 125% oleh China sebagai “eskalasi serius” yang bisa memperburuk ketidakpastian global. Mereka mendorong negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk segera merumuskan langkah mitigasi.

Sementara itu, pelaku usaha di sektor perdagangan dan manufaktur mulai melakukan penyesuaian dengan mencari alternatif pasar dan diversifikasi sumber bahan baku.

Perang Dagang dan Ketidakpastian Ekonomi Global

Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa perang dagang AS-China bukan hanya sekadar konflik bilateral, melainkan ujian besar bagi ketahanan ekonomi global yang saling terhubung. Negara-negara yang tidak memiliki strategi mitigasi bisa ikut terseret dalam turbulensi ekonomi internasional.

Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China ini menjadi pengingat bahwa sistem perdagangan internasional sangat rentan terhadap kebijakan unilateral. Jika konflik dagang terus berlanjut, maka dampaknya bisa menjalar ke sektor keuangan, konsumsi global, hingga stabilitas politik di beberapa wilayah.

Negara berkembang seperti Indonesia harus semakin cepat dalam merespons dinamika ekonomi global, salah satunya melalui diplomasi dagang yang aktif, peningkatan nilai tambah industri dalam negeri, serta penyederhanaan regulasi untuk menarik investasi asing. Ketergantungan yang terlalu tinggi pada dua kekuatan besar dunia ini juga perlu dikurangi dengan memperluas kerja sama dagang ke kawasan lain seperti Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan.

Kebijakan tarif bea masuk 125% oleh China menjadi babak baru dari perang dagang AS-China yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Dampaknya meluas dari pasar global hingga ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Pemerintah dan pelaku usaha dituntut untuk sigap, adaptif, dan mencari celah dalam kondisi penuh ketidakpastian ini. Diplomasi dagang, penguatan sektor dalam negeri, serta pengawasan ketat terhadap arus impor-ekspor menjadi kunci dalam merespons situasi ini.

Ikuti terus berita ekonomi dan geopolitik dunia hanya di BNM News.

“Karena memahami dinamika global adalah langkah awal dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional.”


 

Last Updated on 13 April 2025 by BNM News