Target Energi Terbarukan Indonesia 2025
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mencapai porsi energi terbarukan sebesar 23% dari total bauran energi nasional pada tahun 2025. Namun, hingga pertengahan 2025, realisasinya masih berada di kisaran 13–14%, jauh dari ekspektasi.
Padahal, target energi terbarukan Indonesia menjadi indikator utama dalam transisi menuju ekonomi hijau dan komitmen terhadap perjanjian iklim Paris Agreement.
Selain menjadi komitmen global, target energi terbarukan Indonesia juga menjadi pondasi penting dalam pengurangan emisi karbon nasional. Transisi energi ini bukan hanya soal listrik hijau, tapi menyangkut masa depan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah telah memasukkan pengembangan energi terbarukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), namun pelaksanaannya belum konsisten di lapangan.
Kenapa Target Sulit Tercapai?
Kegagalan mencapai target energi terbarukan Indonesia tidak terjadi tanpa sebab. Ada sejumlah kendala struktural dan kebijakan yang menghambat kemajuan sektor ini. Di bawah ini adalah empat faktor utama yang membuat target tersebut meleset jauh dari harapan.
Infrastruktur Energi Hijau Masih Minim
Salah satu hambatan terbesar adalah minimnya infrastruktur pendukung. Mulai dari keterbatasan jaringan transmisi untuk tenaga surya dan angin, hingga terbatasnya akses listrik ke wilayah terpencil.
Sebagian besar proyek energi terbarukan bersifat terpusat dan belum terkoneksi secara efisien dengan grid nasional. Akibatnya, produksi energi hijau belum bisa dioptimalkan. Masalah distribusi ini menjadi penghalang utama percepatan pencapaian target energi terbarukan Indonesia.
Misalnya, PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) skala rumah tangga dan industri belum terintegrasi optimal ke sistem distribusi PLN. Banyak pelaku usaha mengeluhkan tidak adanya skema feed-in-tariff yang jelas, sehingga surplus listrik dari panel surya tidak bisa dimonetisasi. Padahal, jika dikelola dengan baik, potensi energi matahari di Indonesia termasuk salah satu tertinggi di dunia.
Ketergantungan terhadap Batu Bara
Indonesia masih sangat tergantung pada energi fosil, terutama batu bara, yang menyumbang lebih dari 50% dalam bauran energi nasional. Harga batu bara domestik yang murah membuat pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) tetap menjadi pilihan utama.
Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara yang mempertahankan harga rendah semakin memperlemah daya saing proyek energi terbarukan. Ini membuat transisi energi hijau semakin lambat dan sulit mencapai target energi terbarukan Indonesia.
Investasi Energi Terbarukan Belum Maksimal
Meskipun minat global terhadap energi hijau meningkat, realisasi investasi asing langsung (FDI) di sektor energi terbarukan Indonesia masih tergolong rendah. Banyak investor mengeluhkan ketidakpastian regulasi, return on investment (ROI) yang tidak menarik, serta risiko politik yang tinggi.
Selain itu, mekanisme pembiayaan dalam negeri seperti green bond dan instrumen pasar modal berwawasan lingkungan belum berkembang optimal. Padahal, pendanaan yang kuat adalah tulang punggung untuk mendorong proyek-proyek besar yang menunjang target energi terbarukan Indonesia.
Selain kendala modal, masih ada gap dalam kesiapan teknologi lokal. Banyak proyek masih bergantung pada impor peralatan dari luar negeri yang memakan biaya tinggi. Padahal penguatan industri manufaktur lokal untuk turbin angin, panel surya, hingga baterai penyimpanan energi bisa mendorong percepatan pencapaian target energi terbarukan Indonesia sekaligus membuka lapangan kerja.
Regulasi & Perizinan yang Menghambat
Kerumitan birokrasi menjadi momok klasik yang belum terselesaikan. Proses perizinan proyek energi terbarukan bisa memakan waktu bertahun-tahun. Ditambah lagi, koordinasi antar kementerian dan lembaga sering kali tumpang tindih.
Pemerintah memang telah meluncurkan beberapa inisiatif seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan revisi regulasi tarif listrik hijau, namun pelaksanaannya di lapangan belum sinkron. Hal ini membuat banyak proyek stagnan dan gagal memenuhi kontribusi terhadap target energi terbarukan Indonesia.
Gagalnya pencapaian target energi terbarukan Indonesia di 2025 menjadi alarm serius bagi pemerintah dan pelaku industri. Tanpa aksi konkret dan reformasi mendalam, mimpi Indonesia menjadi pemimpin energi hijau di Asia Tenggara hanya akan tinggal janji.
Solusinya tidak hanya pada insentif atau investasi, tetapi juga reformasi regulasi, keberpihakan dalam kebijakan energi, dan akselerasi teknologi. Rakyat butuh energi bersih, bukan sekadar wacana politik.
Terus ikuti perkembangan energi dan kebijakan hijau hanya di BNM News, sumber terpercaya untuk informasi ekonomi dan industri strategis nasional.