Lompat ke konten

10 Tahun Transisi Energi: Mimpi Besar, Tantangan Nyata

  • oleh

Dalam satu dekade terakhir, dunia menyaksikan perubahan besar dalam arah kebijakan energi global. Isu lingkungan, keberlanjutan, dan ketergantungan terhadap energi fosil menjadi perhatian utama di setiap forum ekonomi internasional. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang dengan sumber daya alam melimpah, kini berada di persimpangan penting: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan energi nasional dengan tuntutan global untuk dekarbonisasi.
Perjalanan transisi energi Indonesia selama 10 tahun terakhir adalah kisah antara mimpi besar dan tantangan nyata — antara ambisi menuju masa depan hijau dan kenyataan infrastruktur yang belum siap sepenuhnya.

 

🔗 Baca Juga: 7 Indikator Kunci yang Menentukan Arah IHSG Tahun Ini

Awal Mimpi Besar Menuju Energi Bersih

Upaya transisi energi Indonesia dimulai serius sejak penandatanganan Paris Agreement pada 2016. Pemerintah menetapkan target ambisius untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,2% dengan bantuan internasional pada 2030. Komitmen itu menjadi landasan visi jangka panjang menuju Net Zero Emission 2060.

Dalam periode ini, investasi pada sektor energi terbarukan meningkat signifikan. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), serta eksplorasi bioenergi mulai terlihat nyata. Namun, realisasi di lapangan masih berjalan lambat dibandingkan target nasional. Tantangannya terletak pada keterbatasan infrastruktur, pendanaan, serta ketidakseimbangan antara kebutuhan energi dan kapasitas teknologi domestik.

Peta Investasi Energi: Antara Potensi dan Hambatan

Sektor energi terbarukan menyimpan potensi investasi raksasa. Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia mencapai 3.600 gigawatt, namun baru sekitar 13 gigawatt yang dimanfaatkan. Artinya, ruang tumbuh masih sangat luas.

Sayangnya, investor masih dihadapkan pada berbagai hambatan: regulasi yang belum stabil, perizinan berlapis, hingga skema harga jual listrik (feed-in tariff) yang belum kompetitif. Banyak proyek PLTS mangkrak karena persoalan teknis dan pembiayaan jangka panjang. Tantangan ini memperlihatkan bahwa transisi energi Indonesia bukan hanya soal ambisi lingkungan, tapi juga soal tata kelola ekonomi dan kebijakan investasi yang konsisten.

Untuk mempercepat percepatan investasi, pemerintah mulai membuka ruang kolaborasi publik-swasta. Melalui platform seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berupaya menarik dukungan internasional untuk pendanaan energi bersih senilai 20 miliar dolar AS. Namun, implementasinya masih menunggu kepastian mekanisme dan kesiapan proyek di lapangan.

Energi Fosil: Antara Ketergantungan dan Keperluan

Meski wacana energi hijau terus digaungkan, fakta menunjukkan bahwa batubara dan gas bumi masih menjadi tulang punggung pasokan energi nasional. Lebih dari 60% listrik Indonesia masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara.

Hal ini menciptakan paradoks dalam narasi transisi energi. Di satu sisi, pemerintah mendorong pengembangan EBT. Di sisi lain, kontrak PLTU jangka panjang dan kebutuhan pasokan listrik industri membuat pengurangan energi fosil berjalan lambat.
Inilah salah satu tantangan paling nyata dalam transisi energi Indonesia: mengelola keseimbangan antara keberlanjutan dan ketahanan energi. Menghapus batubara secara mendadak bukan solusi realistis, terutama ketika jutaan pekerja bergantung pada sektor tersebut.

Teknologi dan Infrastruktur: Pekerjaan Rumah Besar

Transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber energi, tetapi juga membangun ekosistem teknologi yang menopangnya. Indonesia masih menghadapi kekurangan kapasitas produksi panel surya, turbin angin, serta jaringan transmisi yang mendukung integrasi energi terbarukan.

Selain itu, sistem kelistrikan nasional yang belum sepenuhnya terhubung antarpulau menjadi kendala utama. Sebagian besar pembangkit EBT berada di wilayah timur Indonesia, sementara konsumsi terbesar ada di Jawa dan Sumatra. Distribusi energi bersih akhirnya membutuhkan investasi besar dalam jaringan interkoneksi dan penyimpanan (battery storage).

Namun, langkah positif mulai terlihat. Pemerintah telah meluncurkan peta jalan industri baterai nasional dan mendorong investasi kendaraan listrik sebagai bagian dari rantai nilai energi bersih. Transformasi teknologi ini adalah pondasi penting agar masa depan transisi energi bisa terwujud secara berkelanjutan.

Peran Swasta dan Inovasi Hijau

Perusahaan swasta kini memegang peran kunci dalam mempercepat adopsi energi bersih. Banyak korporasi besar mulai menerapkan kebijakan Environmental, Social, and Governance (ESG) untuk menekan jejak karbon dan menarik investor global.
Startup energi baru juga tumbuh pesat, menghadirkan solusi inovatif seperti panel surya atap, sistem penyimpanan energi, dan platform digital untuk efisiensi listrik.

Menurut BNMNews Research, nilai investasi hijau di Indonesia bisa menembus 200 miliar dolar AS pada 2040 jika didukung kebijakan fiskal yang proaktif dan skema insentif pajak yang jelas. Ini menunjukkan bahwa sektor energi hijau bukan hanya urusan lingkungan, tapi juga peluang ekonomi yang nyata bagi masa depan industri nasional.

Tantangan Sosial: Transisi yang Harus Adil

Transisi energi yang berkelanjutan tidak akan berhasil tanpa memperhatikan dampak sosial. Ribuan pekerja di industri batubara berpotensi kehilangan pekerjaan akibat percepatan dekarbonisasi. Oleh karena itu, konsep just transition menjadi penting — memastikan bahwa perubahan menuju energi bersih tidak menciptakan ketimpangan baru.

Pemerintah bersama lembaga internasional perlu menyiapkan program pelatihan ulang (reskilling) bagi tenaga kerja, serta mendorong pengembangan ekonomi lokal di daerah penghasil energi fosil.
Transisi yang adil bukan hanya tanggung jawab moral, tapi juga strategi politik agar agenda energi hijau mendapat dukungan publik luas.

Harapan Baru di Dekade Kedua

Setelah satu dekade penuh dinamika, transisi energi Indonesia memasuki babak baru. Kesadaran publik terhadap pentingnya energi bersih meningkat, lembaga keuangan mulai berhati-hati dalam membiayai proyek fosil, dan generasi muda mendorong isu keberlanjutan sebagai arus utama.
Meski perjalanan ini masih panjang, langkah-langkah yang telah diambil menjadi pondasi penting bagi masa depan ekonomi nasional yang lebih hijau.

Dekade kedua transisi energi harus fokus pada implementasi konkret — bukan lagi sekadar komitmen. Diperlukan sinergi kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menjadikan mimpi besar ini kenyataan. Sebab pada akhirnya, transisi energi bukan hanya tentang mengubah cara kita menghasilkan energi, tetapi tentang bagaimana kita membangun masa depan ekonomi yang lebih adil, bersih, dan berkelanjutan.

Sepuluh tahun perjalanan transisi energi Indonesia memperlihatkan satu hal penting: mimpi besar membutuhkan kesabaran, strategi, dan kolaborasi lintas sektor. Tantangan yang dihadapi — dari infrastruktur hingga pendanaan — adalah bagian dari proses menuju masa depan yang lebih baik.

Jika Indonesia mampu menjadikan transisi energi sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi nasional, bukan hanya sektor energi yang berubah, tapi arah pembangunan negara secara keseluruhan.
Mimpi besar itu masih hidup — tinggal bagaimana bangsa ini mengeksekusinya dengan keberanian dan konsistensi.

Last Updated on 13 Oktober 2025 by BNM News